SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI KUA BEBER CIREBON .....

Jumat, 03 Oktober 2014

ROLLER COASTER KEHIDUPAN PERNIKAHAN

Sudahkah anda siap menikah? Sesungguhnya siap menikah itu sesuatu yang bersifat relatif. Jika dinilai dengan angka, tingkat kesiapan juga bisa beragam. Misalnya siap 60 %, siap 70 % atau siap 90 % bahkan siap 100 %. Angka tersebut sebenarnya tidak terlalu kuantitatif, karena kondisi siap menikah itu bercorak kualitatif. Sehingga pernyataan “siap menikah” itu bukan kondisi yang sama untuk semua orang.
Salah satu cara untuk menguji kesiapan menikah adalah dengan membayangkan hal-hal yang akan terjadi setelah menikah. Kadang-kadang, sebelum menikah orang hanya membayangkan hal-hal yang menyenangkan dan yang indah-indah saja dalam pernikahan. Padahal kenyataannya, ketika sudah hidup bersama dalam keluarga, laki-laki dan perempuan harus siap dengan segala kondisi dan situasi, siap dengan segala resiko, siap dengan segala beban dan permasalahan yang muncul akibat pernikahan.
Bayangkan Hal-Hal Berikut Ini
Coba sahabat muda bayangkan beberapa hal yang terjadi setelah menikah berikut ini, dan tanyakan kepada diri sendiri apakah anda sudah siap untuk menghadapinya.
1. Harus Berbagi Semua Hal
Banyak hal akan menjadi “kita”, bukan lagi “aku” dan “kamu”. Dari makanan, minuman, sabun, pasta gigi, handuk, anda akan berbagi dengan pasangan. Demikian pula waktu, perhatian, konsentrasi, semua harus berbagi. Anda tidak bisa lagi egois menggunakan waktu untuk diri sendiri tanpa peduli pasangan. Banyak hal yang dulunya “milikku” kini menjadi “milik kita”. Mungkin awalnya akan terasa canggung untuk berbagi segalanya, tapi seiring waktu, semua akan berjalan dengan sendirinya.
Dulu anda naik motor atau mobil sendiri, kini anda harus berbagi. Dulu anda asyik ngenet sendiri, kini ada pasangan yang bisa mencemburui. Dulu anda bisa keluar malam sendiri, kini anda tidak bisa bebas lagi. Dulu anda bisa makan ke warung bakso sendiri, kini anda tidak bisa semau sendiri. Dulu anda mau tidur dan bangun jam berapapun dengan bebas, kini anda tidak bebas lagi. Ini semua karena anda harus berbagi dengan pasangan dalam sangat banyak hal.
2. Pernikahan Itu Seperti Roller Coaster
Jika anda naik roller coaster, akan melewati saat yang wajar dan biasa saja, ada saat ketegangan, ada saat histeria, ada pula antiklimaks berupa kelegaan. Akan ada banyak sekali suka dan duka yang akan dijumpai dalam kehidupan pernikahan. Tapi kebersamaan yang kuat antara suami istri akan menjadikan mudah melewati semua bentuk krisis atau masalah.
Anda akan menghadapi banyak sekali masalah dan tantangan baru nantinya, tapi selama bisa saling bersatu hati dan bergandengan tangan dalam melewatinya, anda akan menjalani kehidupan pernikahan dengan bahagia bersama pasangan tercinta. Tidak perlu terlempar dari roller coaster saat melewati ketegangan dan histeria, karena anda saling berpegangan untuk menguatkan.
3. Selalu Ada Hal Baru yang Anda Temukan dari Pasangan
Sebelum menikah, apalagi bagi mereka yang melewati masa pacaran, bisa jadi anda merasa telah mengenal banyak hal dari pasangan. Padahal sebenarnya anda tidak banyak mengenal jati dirinya. Orang pacaran lebih banyak menampilkan kebohongan demi menyenangkan pasangan. Maka anda akan menemukan banyak sekali hal baru setelah menikah dan hidup berdua bersama pasangan. Hal-hal yang menjadi jati diri pasangan yang sesungguhnya.
Apalagi bagi pasangan yang tidak melewati masa pacaran, hanya berbekal masa ta’aruf secara Islami untuk menjaga hati. Pengenalan tentu tidak mendalam, karena lebih banyak sisi kesamaan visi dan keyakinan akan kebaikan calon pasangan. Maka setelah menikah, setiap hari adalah hari baru untuk lebih banyak tahu tentang kondisi pasangan. Anda akan terus dikejutkan dengan banyak hal baru dari pasangan yang belum pernah anda ketahui sebelumnya. Maka bersiaplah menghadapi hari-hari penuh kejutan itu.
4. Pasangan pun Menemukan Banyak Kejutan dari Anda
Sebagaimana anda terkejut dengan berbagai hal yang baru temukan dan anda ketahui dari pasangan, maka demikian pula pasangan anda akan menemukan banyak hal yang baru dari anda. Pasangan juga akan mengalami keterkejutan karena menemukan hal-hal yang belum diketahui sebelumnya dari anda. Sesuatu yang bisa jadi sengaja anda sembunyikan dari pasangan selama masa berkenalan, atau sesuatu yang anda tidak bermaksud menyembunyikannya, semua akan tertampakkan.
Hidup berdua dalam keluarga baru, bertemu dan berinteraksi secara sangat dekat dan intim, duapuluh jam sehari semalam, membuat semua hal akan tertampakkan. Tidak ada yang bisa disembunyikan. Semua dari diri anda akan diketahui pasangan, semua hal dari pasangan akan anda ketahui. Maka bersiaplah menghadapi ketersingkapan diri anda, yang selama ini tidak diketahui pasangan anda.
5. Melihat Sisi Paling Jelek Pasangan
Hidup dalam ikatan pernikahan membuat anda dan pasangan selalu berada dalam situasi yang sangat dekat, tanpa jarak, tanpa batas, tanpa sekat. Apalagi bagi engantin baru, yang inginnya selalu berdua kemana-mana. Saat bangun tidur di pagi hari, anda akan menjadi orang pertama yang melihat pasangan bangun dengan muka kucel, rambut acak-acakan dan tubuh yang bau keringat. Belum lagi bau mulut.
Sebelum menikah, anda hanya menemukan pasangan anda dalam kondisi wangi dan sudah berdandan rapi. Anda tidak pernah menjumpainya dalam keadaan acak-acakan, karena selalu ada persiapan sebelum pertemuan sebelum menikah. Kini setelah menikah, anda bertemu setiap saat. Tidak ada waktu untuk bersiap diri, karena anda selalu berada bersama pasangan setiap saat. Maka anda harus siap menerima kondisi pasangan dari sisi yang paling jelek sekalipun. Tapi justru itulah yang menjadi bumbu pernikahan Anda.
6. Bertemu Setiap Saat
Bagi orang yang berpacaran, frekuensi pertemuan mereka tentu terbatas. Situasi seperti itu yang menimbulkan kerinduan untuk bertemu. Setelah menikah, anda akan bertemu setiap saat. Bahkan etika hidup suami istri, harus meminta izin kepada pasangan ketika akan pergi untuk suatu keperluan meninggalkan pasangan. Bertemu terus setiap saat dengan pasangan, apakah anda akan menjadi bosan? Apakah anda akan kehilangan kerinduan? Semua tergantung kondisi hubungan anda dengan pasangan.
Dalam kehidupan berumah tangga, justru keintiman harus terus ditingkatkan dengan melakukan variasi setiap harinya. Jika kesibukan dan rutinitas kegiatan setiaphari membuat anda merasa jenuh, maka setidaknya luangkan waktu sekali dalam seminggu atau sebulan untuk menghabiskan waktu berdua saja untuk melakukan refreshing.
7. Menyelesaikan Masalah Bersama
Saat masih lajang, anda berusaha menyelesaikan semua masalah sendirian. Sekarang setelah menikah, anda harus menyelesaikan masalah bersama dengan pasangan. Karena anda berdua menjadi bagian yang utuh dan tak terpisahkan satu dengan yang lain, maka masalah anda akan berpengaruh terhadap pasangan dan masalah pasangan pun akan berpengaruh terhadap anda. Untuk itulah anda berdua harus sharing untuk mendialogkan permasalahan yang anda hadapi.
Komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan pernikahan. Kegagalan komunikasi sering menjadi faktor yang sangat vital dalam menimbulkan konflik dan pertengkaran suami istri. Maka obrolan ringan untuk mengurai berbagai masalah menjadi sangat diperlukan. Anda harus rela berbagai masalah yang selama ini anda anggap sebagai pribadi. Setelah menikah, hal itu akan anda buka kepada pasangan.
8. Menemukan Tujuan Paling Hakiki dari Sebuah Pernikahan
Walaupun secara teori anda sudah mengerti tentang tujuan-tujuan pernikahan, namun anda akan berproses menemukan tujuan tersebut bersama pasangan. Anda akan menemukan hal-hal unik dan khas dalam corak interaksi keseharian bersama pasangan, yang akhirnya anda menemukan lebih banyak hal tentang hakikat, makna dan tujuan pernikahan.
Tentu saja tujuan menikah bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan seksual atau karena sudah waktunya menikah. Setelah menikah, anda akan menemukan makna dan tujuan pernikahan secara lebih nyata, bukan dalam dataran teori ataupun wacana. Ketika tujuan itu sudah ditemukan, maka pondasi pernikahan anda akan semakin kuat setiap waktunya.
9. Kerepotan Mengurus Anak
Pada masa perkenalan, mareka bebas mengekspresikan keinginan, dan merasakan hal-hal yang serba menyenangkan dari pasangan. Namun setelah menikah, anda akan segera menyambut kehadiran bayi mungil, buah cinta anda berdua. Tahukah anda, bahwa bayi itu sering terbangun dan menangis setiap saat, tidak pandang waktu dan kesibukan anda berdua? Karena satu-satunya cara bayi berkomunikasi adalah melalui tangisan.
Anda harus bangun tengah malam, bahkan lewat tengah malam, mengurus ompol bayi, mengganti pakaian, menyiapkan bedak, minyak telon, dan susu tambahan. Belum lagi saat bayi sakit, tentu memerlukan perhatian ekstra. Anda harus siap berbagi untuk mengurus bayi yang bisa menguras tenaga dan perhatian anda. Keintiman anda sebagai suami istri menjadi “terganggu” oleh kerepotan mengurus bayi.
10. Ada Hak dan Kewajiban yang  Mengikat
Sebelum menikah, anda adalah makhluk bebas merdeka. Sebagai orang dewasa, anda sudah tidak terlalu diikat oleh orang tua, namun belum memiliki beban kehidupan. Setelah menikah, semua segera berubah. Anda terikat dengan hak dan kewajiban bersama pasangan. Setelah muncul anak, bertambah lagi beban dan kewajiban itu. Anda tidak bisa lagi berlaku semau-mau sendiri, karena ada ikatan peran yang harus tertunaikan.
Sudah siapkah anda dengan itu semuanya? Memasuki perjalanan roller coaster pernikahan dengan segala atraksinya?  Jika anda sudah siap, maka itu bagian dari pertanda kesiapan anda memasuki kehidupan pernikahan. Selamat memasuki kehidupan pernikahan yang penuh keajaiban.

Jumat, 26 September 2014

KESEPAHAMAN FINANSIAL

Rehat-Jum'at

"Kesepahaman finansial" antara calon suami dan calon istri perlu dibuat sebelum menikah, agar kehidupan berumah tangga kelak tidak diwarnai dengan pertengkaran akibat kondisi ekonomi.

Calon suami dan calon istri hendaknya saling terbuka dengan kondisi ekonomi mereka saat ini, dan terbuka menyampaikan harapan serta peluang ekonomi di masa mendatang.

Dengan demikian, dari awal mereka bisa saling mengerti, saling menerima dan saling sepaham tentang kondisi finansial yang akan mereka hadapi dalam pernikahan.

Cewek : Bagaimana Bang, sudah siap menikah dengan aku kan?

Cowok : Iya Dek. Aku sudah siap, tapi gimana ya..…

Cewek : Apanya yang gimana Bang? Jangan terlalu banyak pertimbangan. Ntar kelamaan nikahnya....

Cowok : Aku tahu Dek, tapi nanti kita tinggal di rumah siapa setelah nikah? Kita kan belum punya rumah sendiri....

Cewek : Kita tinggal di rumah Abang aja.. Gak masalah aku tinggal bareng mertua...

Cowok : Iya sih, tapi masalahnya, orang tuaku juga masih numpang di rumah mertuanya.…

Selamat pagi sahabat semua. Selamat beraktivitas.

Selasa, 09 September 2014

MENIKAH, KENAPA TAKUT?

Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?
Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.
Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.
Menikah itu Fitrah
Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)
Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.
Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.
Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.
Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.
Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.
Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.
Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”
Menikah Itu Ibadah
Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)
Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.
Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.
Pernikahan dan Penghasilan
Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?
Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.
Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.
Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.
Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.
Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.
Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.
Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.
Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.
Pernikahan dan Menuntut Ilmu
Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.
Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.
Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.
Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.
Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.
Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.
Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.
Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/02/06/92/menikah-mengapa-takut/#ixzz3CnMUN96K 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook