Oleh : Cahyadi Takariawan
Anda pernah ke Jogjakarta ? Jika anda pernah ke Jogjakarta sepuluh
tahun yang lalu, sekitar tahun 2000, dan anda baru kembali pada tahun
baru 2011 ini, pasti anda akan melihat banyak perubahan. Ada banyak
gedung, ada banyak hotel, mall, rumah makan, dan toko baru. Ada suasana
dan nuansa baru. Jalan lebih ramai dan padat. Bahkan ada jalan dan gang
baru. Namun ada juga yang sudah hilang dan berganti bentuk.
Sebuah Peta Telah Usang
Berbekal peta dan pengetahuan tentang Jogja sepuluh tahun yang lalu,
anda bisa dibuat bingung saat mencari alamat sahabat. “Dulu tidak
seperti ini”, komentar anda saat menyaksikan banyak sekali perubahan di
sekitar rumah sahabat anda. “Hampir saja saya tidak mengenali lagi”,
tambah anda.
Itu baru perubahan sepuluh tahun. Bagaimana kalau duapuluh tahun ?
Tentu lebih banyak lagi perubahan yang terjadi. Namun jika anda bertanya
kepada orang yang setiap hari tinggal di Jogja, dia akan mengatakan,
“Biasa saja. Jogja dari dulu juga seperti ini. Ada Tugu, Malioboro,
Alun-alun, Kraton, Parangtritis, Kaliurang, Prambanan… Apanya yang
berubah ?”
Karena menyaksikan setiap hari, membersamai perubahan setiap hari,
mengenali setiap hari, maka perkembangan apapun selalu diikutinya. Ia
tahu saat pembangunan Ambarukmo Plaza, Saphir Square, munculnya
Carrefour, munculnya Lotte Mart, Apotek K-24, dan Taman Pintar. Ia
mengetahui proses pelebaran jalan utama Jogja – Solo. Ia mengetahui
proses perluasan bandara Adi Sucipto. Ia mengetahui proses pembangunan
halte Trans Jogja.
Ia mengetahui penambahan route kereta api Prameks. Ia mengetahui
sejumlah ruas jalan yang dulu dua arah sekarang menjadi searah. Ia
mengetahui menjamurnya arena futsal yang sempat digandrungi anak-anak
muda Jogja. Bahkan mengetahui proses tumbuh kembangnya pepohonan yang
menjadi pembatas ruas jalan di sepanjang Ring Road.
Karena mengetahui proses perubahan setiap hari, maka informasi selalu
bersambung, tidak ada yang terputus. Semua perkembangan dan perubahan
terekam dengan baik, hari demi hari. Berbeda dengan anda yang terputus
informasi selama sepuluh tahun. Berbekal pengetahuan dan peta sepuluh
tahun yang lalu. Berbekal pengalaman yang tidak berkembang selama
sepuluh tahun. Memasuki Jogja penuh dengan hal-hal baru. Sepuluh tahun
yang lalu belum hal yang belum ada. Akumulasi perkembangan selama
sepuluh tahun cukup mengagetkan. Ternyata sudah sangat banyak yang
berubah.
Nah, jika anda mengalami kondisi seperti itu, yang anda perlukan
adalah peta Jogja terbaru. Dengan peta terbaru itu, anda akan menjadi
mudah mengenal Jogja, mudah mencapai tujuan yang anda kehendaki. Dengan
peta terbaru itu, tidak akan kesulitan apabila menemui kondisi yang
tidak diharapkan, karena mengerti jalan keluarnya. Misalnya dari ujung
Malioboro anda akan menuju Kraton, namun ternyata ada kemacetan di depan
gedung DPRD. Jika peta anda lengkap, anda tahu bagaimana cara menuju
Kraton tanpa harus menyusuri sepanjang Malioboro. Anda bisa lewat
sejumlah gang, dan akhirnya sampai juga ke Kraton.
Keluarga adalah Organisme Hidup
Demikian pula dengan rumah tangga kita. Yang harus kita ingat pertama
kali adalah, keluarga itu “organisme hidup”. Dia bukan benda mati.
Karena isinya adalah manusia yang lengkap segala potensinya. Semua
anggota keluarga adalah manusia utuh, memiliki jiwa, memiliki hati,
akal, pikiran, keinginan, kecenderungan, harapan dan juga berbagai
kebiasaan yang selalu berkembang. Dari waktu ke waktu, dari hari ke
hari, selalu ada yang baru pada diri kita dan pasangan kita.
Dengan kesadaran ini, kita menjadi memahami bahwa pasangan hidup kita
saat ini bukanlah seseorang yang duduk di pelaminan sekian tahun yang
lalu. Dia adalah seseorang yang telah berubah dan berkembang, dan
menjadi dirinya pada saat ini. Apakah kita masih mengenalinya dengan
baik ?
Hal-hal yang dulu tidak terpikirkan, sekarang menjadi beban pikiran.
Hal-hal yang dulu tidak dirasakan, sekarang mulai dirasakan. Keinginan
yang dulu tidak terbayangkan, sekarang muncul dengan kuat. Sebagaimana
ada kebiasaan yang berubah. Ada kebiasaan yang baru muncul sejalan
dengan perkembangan usia, adapula kebiasaan yang mulai ditinggalkan.
Benar-benar berkembang, dan banyak suasana baru. Baik dalam arti
bertambah, karena dulu tidak ada, atau berkurang dari yang semula ada.
Kesibukan suami dan isteri kadang menyebabkan suasana kehidupan yang
berjalan mekanis. Sekedar melakoni rutinitas hidup sebagai suami dan
sebagai isteri. Bangun pagi, berangkat bekerja dan beraktivitas, pulang
sudah malam. Begitu setiap hari hidup dijalani. Jarang sekali ada waktu
untuk bercengkerama berdua, bercerita, bermesraan, mengobrol,
berdiskusi, bercerita tentang apa saja. Suasana keluarga menjadi ritme
yang sangat monoton dan membosankan bagi semua anggota keluarga.
Suami lebih peduli dengan pekerjaan kantor atau aktivitas di luar
rumahnya, daripada renik-renik rumah tangga. Isteri sibuk dengan seabreg
aktivitas rutinnya, sehingga mengabaikan perhatian terhadap suami dan
anak-anak. Mereka bahkan kadang tidak menyadari, setiap hari terjadi
perubahan di dalam rumahnya. Hasil interaksi dan komunikasi dengan
berbagai pihak, telah memberikan pengalaman, pemikiran serta cara
pandang baru pada suami dan isteri. Ada sesuatu yang terus berubah dari
waktu ke waktu.
Atas nama kesibukan menjalani pekerjaan dan serangkaian aktivitas
keseharian, suami dan isteri jarang memiliki kesempatan mencurahkan
perasaan dan isi hati. Masing-masing larut oleh dinamika di dunia yang
berbeda. Hingga akhirnya, mereka menemukan situasi saling asing. Merasa
biasa-biasa saja, tidak ada yang luar biasa dalam kualitas interaksi
suami isteri. Kondisi ini bisa mencapai ketegangan dengan perasaan
saling tidak mengenal.
Ketika Tidak Memiliki Peta yang Lengkap
Ketika pada suatu saat mereka menemukan jalan buntu dalam menghadapi
persoalan rumah tangga, mereka tidak mengerti apa yang harus dilakukan.
Diskusi dan komunikasi sudah tidak bisa dilakukan lagi. Mentok, mampet.
Suami emosional, isteri marah-marah. Pembicaraan tidak bisa berlangsung,
karena selalu berujung kemarahan dan emosi yang memuncak dari kedua
belah pihak. Akhirnya muncul suasana tegang dan berlama-lama dalam aksi
saling mendiamkan.
Apa yang sedang terjadi ? Mereka berdua tidak memiliki peta kasih
yang lengkap. Mereka tidak memiliki peta kasih terbaru dari pasangannya.
Suami menganggap isterinya masih sebagaimana sepuluh tahun yang lalu.
Isteri tidak mengerti berbagai perubahan pada suami sepuluh tahun
terakhir ini. Ya, pengetahuan mereka sudah berhenti sejak sepuluh tahun
yang lalu. Menganggap bahwa pasangannya akan selalu seperti itu, tidak
akan berubah, selamanya.
Jika saja suami mengetahui peta kasih dengan detail, ia akan
mengetahui bukan hanya jalan tol, jalan utama dan jalan-jalan besar saja
untuk menuju kepada hati dan perasaan sang isteri. Ia akan mengetahui
gang-gang sempit, bahkan jalan “tikus” sebagai jalan alternatif yang
bisa ditempuh. Saat jalan utama tertutup, ia tidak dibuat bingung. Masih
banyak gang, masih banyak lorong, masih banyak jalan-jalan kecil menuju
hati dan perasaan isteri. Tidak akan menemui kebuntuan.
“Apa yang harus saya lakukan, suami saya sudah tidak mau diajak
bicara lagi”, keluh seorang isteri kepada saya selaku konsultan
keluarga.
“Apa yang harus saya lakukan, isteri saya tidak mau diskusi lagi.
Bisanya hanya menangis dan marah-marah saja”, keluh seorang suami saat
konsultasi kepada saya.
Pertanyaan-pertanyaan ini menandakan, pengetahuan tentang peta kasih
yang dimiliki cukup terbatas. Begitu suami tidak bisa diajak mengobrol,
begitu isteri tidak menjawab pertanyaan, dianggap semua sudah buntu dan
tidak ada jalan alternatif lagi. Ia tidak memiliki peta yang cukup rinci
tentang suaminya sendiri, seseorang yang ditemaninya setiap hari. Ia
tidak cukup mengenal peta tentang isterinya sendiri, seseorang yang
dibersamainya setiap hari.
Andai saja mereka berdua memiliki peta kasih yang cukup lengkap,
niscaya tidak dibuat bingung oleh fenomena macetnya komunikasi. Banyak
sekali jalan menuju hati dan perasaan pasangan. Banyak sekali gang dan
lorong menuju jiwa pasangan kita.