SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI KUA BEBER CIREBON .....

Jumat, 04 November 2011

FATWA MUI : PERKAWINAN BEDA AGAMA

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor:  4/MUNAS VII/MUI/8/2005
Tentang
PERKAWINAN BEDA AGAMA

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah
MENIMBANG            :  a.  bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama;
b.  bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat;
c.  bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan;
d.  bahwa untuk mewujudkan dan memelihara keten-traman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT             :  1. Firman Allah SWT:
 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. al-Nisa [4]: 3).
 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. al-Rum [30]: 21).
 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. al-Tahrim [66]: 6).
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”. (QS. al-Maidah [5]: 5).
 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka meng-ambil pelajaran”. (QS. al-Baqarah [2]: 221).
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Mumtahanah [60]: 10).
“Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa [4]: 25)
2.  Hadis Rasul Allah s.a.w.; antara lain:
 “Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena (asal-usul) keturunan-nya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu” (HR. muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a.).
3.  Qa’idah Fiqh:
 “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (di-utamakan) dari pada menarik kemaslahatan".
dan qa’idah Sadd al-zari’ah.
MEMPERHATIKAN:       1.Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan Campuran.
                                       2. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

 

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN          :      FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
1.  Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2.  Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.

                                    Ditetapkan di     :  Jakarta
                                    Pada tanggal     :  21 Jumadil Akhir 1426 H.
  28        J u l i        2005 M



MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
            Ketua,                                                           Sekretaris,
              Ttd,                                                                    Ttd,
K.H. MA’RUF AMIN                   Drs. H. HASANUDIN, M.Ag

Pimpinan Sidang Pleno
               Ketua,                                                           Sekretaris,
                  Ttd.                                                                              Ttd.
Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB   Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN