KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005
Tentang
PERKAWINAN BEDA AGAMA
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam
Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005
M., setelah
MENIMBANG
: a. bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda
agama;
b.
bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara
sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di
tengah-tengah masyarakat;
c.
bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan
perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan;
d.
bahwa untuk mewujudkan dan memelihara keten-traman kehidupan berumah tangga,
MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk
dijadikan pedoman.
MENGINGAT
: 1. Firman Allah SWT:
“Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(QS. al-Nisa [4]: 3).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. al-Rum [30]: 21).
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. al-Tahrim [66]: 6).
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”. (QS. al-Maidah [5]: 5).
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka meng-ambil pelajaran”. (QS. al-Baqarah [2]: 221).
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang
telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka
bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Mumtahanah [60]: 10).
“Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang
tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena
itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka
menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa [4]: 25)
2. Hadis
Rasul Allah s.a.w.; antara lain:
“Wanita itu (boleh) dinikahi karena
empat hal: (1) karena hartanya (2) karena (asal-usul) keturunan-nya (3) karena
kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan
perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua
tangan-mu” (HR. muttafaq
alaih dari Abi Hurairah r.a.).
3. Qa’idah
Fiqh:
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan
(di-utamakan) dari pada menarik kemaslahatan".
dan qa’idah Sadd al-zari’ah.
MEMPERHATIKAN:
1.Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan
Campuran.
2. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI
2005.
Dengan bertawakkal kepada Allah
SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN
: FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
1.
Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2.
Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul
mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H.
28 J u l
i 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
Ketua,
Sekretaris,
Ttd,
Ttd,
K.H. MA’RUF AMIN
Drs. H. HASANUDIN, M.Ag
Pimpinan Sidang Pleno
Ketua,
Sekretaris,
Ttd.
Ttd.
Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB Prof. Dr. H.M.
DIN SYAMSUDDIN