SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI KUA BEBER CIREBON .....

Jumat, 29 Januari 2016

DILEMA IBU BEKERJA


Oleh : Ambu Uwais

Dapatkah aku pergi dengan sepenuh hati ...
Mengerjakan tugasku dengan sepenuh jiwa ...
Ini ibadah juga, lirihku
Dan suamiku, imam hidupku memberikan izin nya, tegasku
Dan agamapun tidak secara khusus melarangnya, renung ku
Tapi mengapa aku masih separuh jiwa, masih setengah hati
Karena sepenggalnya tertinggal di rumah kah?
Ketika dia melepasku dengan mata penuh harap
Dan menyambutku dengan pandangan ke rinduan
 Aku bisikkan padanya ...
Nak, kita berjuang bersama, lalui hari, menembus waktu
Tahukah kau, cinta ku tak pernah berkurang se mili pun,
karena separuhnya selalu bersamamu, separuhnya biar ambu bawa ya
Cinta, biar pun kita tak bersama, yakinlah tak sedetikpun ambu mengabaikan mu
peluk sayang dari tempat kerja buat Uwais ku ... 

Setiap hari menjelang jam berangkat kerja, selalu galau yang kurasakan. Meninggalkan buah hati tercinta denga kebutuhan khusus di rumah benar-benar membuatku gegana, kata citata. Namun kuanggap ini sebagai jalan kami, jalan yang ditempuh setiap keluarga tentunya berbeda. Ibu bekerja juga bukanlah aib bagi kami, aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga dengan ibu yang bekerja. Seorang ibu dengan enam orang anak yang berjuang setiap hari nya dengan hiruk pikuk mengajar, walaupun memang beda zaman berbeda pula ritunitas dan kesibukannya. Guru zaman dahulu lebih fleksibel dibandingkan guru negeri di zaman sekarang, terlebih setelah ada sertifikasi profesi. Tapi tetap saja, kadang banyak terjadi keruwetan-keruwetan yang kami alami, buku rapot yang tak pernah diambil orang tua, rapat orang tua yang tak pernah dihadiri dan lain sebagainya. Yang bagi pikiran kecilku dulu, membuat sedih dan protes pada mereka. Padahal aku berprestasi, selalu mendapatkan rangking pertama tapi sepertinya ibuku tidak peduli. Sepertinya ayahku pun tak senang hingga tak sempat mengambilkan rapotku atau menghadiri rapat kelulusan di akhir tahun. Yah, masa-masa itu telah berlalu, apa yang mereka alami pun mungkin kelak akan aku alami, sekarang saja aku sudah merasakan beratnya menjadi ibu bekerja padahal baru memiliki seorang anak.
Berbeda dengan anak perempuan di keluarga ayahku, anak perempuan di keluarga ibu nyaris semuanya adalah guru. Berpendidikan minimal SPG / PGA mereka bekerja sebagai guru bahkan diantaranya memiliki yayasan pendiikan, sehingga di hari pensiun pun tetap mengajar. Rata-rata pula anak perempuannya bekerja, beberapa menjadi guru ada pula yang menjadi dosen ataupun pegawai negeri. Berbeda dengan keluarga ayahku yang anak-anak perempuannya rata-rata adalah ibu rumah tangga penuh (full time mother), namun secara implisit ayahku selalu menekankan agar anak-anak perempuannya (aku dan kakak sulung ku) untuk mandiri (baca:bekerja). Boleh jadi pengalaman tidak menyenangkan yang dialami adik perempuannya menjadi cambuk ayah agar perempuan mandiri dan tidak tergantung pada suami. Perempuan harus memiliki harga diri di hadapan suami, begiru kira-kira pesannya di suatu kesempatan. Beliau almarhum sebelum melihat aku menjadi seorang pegawai seperti harapan nya.
Namun, terkadang jika melihat kenyataan sekarang dengan anak yang masih berusia balita. Dengan kebutuhan khusus sehingga memerlukan perhatian khusus pula. Kadang disitu saya merasa sedih, jadi inget meme nya ibu polwan. Karena diapun menyampaikan dalam konteks yang sama yaitu ketika bekerja dan meninggalkan anak-anaknya dalam pengasuhan orang lain. Sedih sih iya, apalagi ketika rekanku baik di dunia maya maupun didunia nyata sering mengutipkan pendapat ulama tentang larangan wanita bekerja dan keluar rumah, ikhtilat (bercampur baur) dengan lawan jenis bahkan katanya menimbulkan banyak perselingkuhan dan pembangkangan terhadap suami. Wallahua’lam. Walaupun memang bukan berita bohong ketika kisah-kisah tentang keburukan wanita bekerja itu diangkat. Orang tua suami, terutama ibu mertuaku juga sebetulnya lebih merekomendasikan ibu rumah tangga untuk menjadi menantunya. Namun kebetulan kedua anaknya, suamiku dan kakak iparku memilih isteri yang sama-sama bekerja. Alasan mereka ya, bukan di materi justru. Tapi lebih kepada ingin menghargai dan melejitkan potensi isteri-isteri nya. Selama kami masih dapat membegi waktu dan fikiran untuk urusan rumah tangga. Dan sejauh ini kami sepertinya masih berada dalam track yang seharusnya. Dear, tegur kami jika salah yah, jangan menunggu kami keluar dari rel yang seharusnya.
Bagi kami pun , bekerja bukan soal materi Ansich, bukan juga masalah emansipasi, kesetaraan jender atau apapun. Tapi kami ingin bersama-sama menjalankan roda keluarga dan meringankan beban mereka. Agar anak-anak kami kelak dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik plus perhatian yang lebih baik dari ayah mereka. Ya semata-mata karena rasa cinta pada generasi kami ke depan. Dan mempersiapkan generasi yang lebih baik juga adalah ibadah, karena agamapun memerintahkan kita untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik.  Begitu juga agar terciptanya Sakinah dalam keluarga. kami tidak saling menuntut, suami menuntut isterinya mengurus kebutuhan rumah tangga dengan optimal. Isteri menuntut suaminya bekerja dan menghasilkan uang lebih banyak lagi. Kamipun tidak saling curiga, suami mencurigai isterinya boros berbelanja, isteri mencurigai suaminya tidak memberikan seluruh hasil kerjanya dan sebagainya. Yah karen akami saling membantu dan bekerja sama dalam setiap hal. Yah, boleh lah ada yang tidak setuju dengan pendapat kami. tapi itu adalah pilihan kami dengan pola rumah tangga kami.
Suamiku pun yakin, ketika dia memilihku sebagai isterinya. Bahwa wanita bekerja tidak selalu buruk tabiatnya pada suami, sok kuasa atau bahkan selingkuh dengan teman kerja. Karena bagi suami memilih teman hidup itu bukan hanya dari apa yang tampak dari mata zahir saja tapi juga yang lebih penting adalah dari dalam, dari hati. Hati-hati yang disentuh oleh agama pasti akan memiliki kendali dari ajaran agama. Karena agama memberikan batasan apa yang boleh dan tidak boleh. Apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, dan yang ditakuti oleh orang yang beragama adalah Tuhan. Jadi meskipun suaminya tidak 24 jam bersamanya, meskipun dia pergi kemanapun tanpa pengawasan namun tetap dalam wilayah aman, dia tak akan berkhianat dan tak akan menelikung suami dari belakang. Dia akan tetap menjaga harta suaminya dengan aman, menjaga kehormatan suaminya dengan sepenuh penjagaan. Karena yang dia takutkan adalah Tuhan, ya hanya Allah saja. Dan pengawasan  Allah tidak terbatas ruang dan waktu, tak ada semut kecil yang hitam berada di batu hitam di tengah malam yang gelap gulita kecuali ia dalam pengawasan dan penjagaan Allah SWT. Begitulah kira-kira perumpamaan pengawasan Allah terhadap hamba Nya. Karenanya seorang suami kan tenang walaupun isterinya pergi keluar untuk sama-sama mencari nafkah.
Keyakinan kami pun sama, pada buah hati kami semata wayang. Kami yakin akan penjagaan Allah terhadapnya. Setiap hari saya mempersiapkan yang terbaik untuknya. Sebisa mungkin memberikan yang alami, hasil karya dari kedua tangan ini. Kami berusaha memberikan kualitas terbaik bagi kebersamaan kami yang minim. Sedih, mungkin sering kami rasakan, hanya yakin saja bisa melewati semuanya. Pengalamanku dan kelima kakakku, dengan ibu yang sibuk bekerja enam hari dalam sepekan. Kami tetap merasakan damai di hati, karena di sela-sela kebersamaan kami ibu tetap ‘ada’ ayahpun tetap ‘ada’ untuk kami. bukan hanya fisiknya tapi juga hatinya. Apabila kami berkumpul tak henti-hentinya kami akan menceritakan keseharian kami dengan canda-tawa, dengan ibrah / pesan yang selalu orangtua kami selipkan di dalamnya. Mungkin itulah gaya kami yang akan kami tularkan pada generasi kami ke depan. Inginnya kami selalu bersama mendekap mereka hangat, namun terkadang waktu yang terbataspun tak selalu buruk hasilnya.
Aku  berharap bukan mudaharat / keburukan yang akan kami petik kelak. Karena memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya juga bukan perkara yang mudah, setidaknya aku tak seberani itu. Banyak hal di depan yang masih harus kami hadapi, bersabar dan sedikit menutup telinga dengan omongan orang mungkin solusi terbaik sementara ini.  Ibuku pun bisa menjadi the real mother meskipun dia bekerja, mencetak kami ber enam dengan tangan dinginnya ( eeaaa ^_^ ) adalah sebuah masterpiece yang luar biasa. Yah orang tua memang tidak mencetak secara utuh, tetap saja tangan-tangan Tuhan yang lebih mendominasi. Ayah dan Ibu hanya menjalankan sunnatullah Nya di bumi. Tapi do’a-do’a mereka yang mengalun menembus sepertiga malam adalah ruh yang menguatkan raga ini. Ya Rabbi, Tuhan kami semoga Engkau meridloi jalan kami ini, memilih menjadi ibu bekerja bukan dosa bukan? dosa jika kami menelantarkan anak-anak kami dan suami kami. Suamiku, Anakku tercinta kalian ridho bukan jika isterimu ini, ibumu ini membawa separuh hati kalian dan berkelana di setiap fajar tiba dan kembali jelang mentari menundukkan diri. I Lope yu Pull.