Oleh : Ambu Uwais
Dapatkah aku pergi dengan sepenuh hati ...
Mengerjakan tugasku dengan sepenuh jiwa ...
Ini ibadah juga, lirihku
Dan suamiku, imam hidupku memberikan izin nya, tegasku
Dan agamapun tidak secara khusus melarangnya, renung ku
Tapi mengapa aku masih separuh jiwa, masih setengah hati
Karena sepenggalnya tertinggal di rumah kah?
Ketika dia melepasku dengan mata penuh harap
Dan menyambutku dengan pandangan ke rinduan
Aku bisikkan padanya ...
Nak, kita berjuang bersama, lalui hari, menembus waktu
Tahukah kau, cinta ku tak pernah berkurang se mili pun,
karena separuhnya selalu bersamamu, separuhnya biar ambu bawa ya
Cinta, biar pun kita tak bersama, yakinlah tak sedetikpun ambu
mengabaikan mu
peluk sayang dari tempat kerja buat Uwais ku ...
Setiap hari menjelang jam berangkat kerja, selalu
galau yang kurasakan. Meninggalkan buah hati tercinta denga kebutuhan khusus di
rumah benar-benar membuatku gegana, kata citata. Namun kuanggap ini
sebagai jalan kami, jalan yang ditempuh setiap keluarga tentunya berbeda. Ibu
bekerja juga bukanlah aib bagi kami, aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga
dengan ibu yang bekerja. Seorang ibu dengan enam orang anak yang berjuang
setiap hari nya dengan hiruk pikuk mengajar, walaupun memang beda zaman berbeda
pula ritunitas dan kesibukannya. Guru zaman dahulu lebih fleksibel dibandingkan
guru negeri di zaman sekarang, terlebih setelah ada sertifikasi profesi. Tapi tetap
saja, kadang banyak terjadi keruwetan-keruwetan yang kami alami, buku rapot
yang tak pernah diambil orang tua, rapat orang tua yang tak pernah dihadiri dan
lain sebagainya. Yang bagi pikiran kecilku dulu, membuat sedih dan protes pada
mereka. Padahal aku berprestasi, selalu mendapatkan rangking pertama tapi
sepertinya ibuku tidak peduli. Sepertinya ayahku pun tak senang hingga tak
sempat mengambilkan rapotku atau menghadiri rapat kelulusan di akhir tahun. Yah,
masa-masa itu telah berlalu, apa yang mereka alami pun mungkin kelak akan aku
alami, sekarang saja aku sudah merasakan beratnya menjadi ibu bekerja padahal
baru memiliki seorang anak.
Berbeda dengan anak perempuan di keluarga ayahku,
anak perempuan di keluarga ibu nyaris semuanya adalah guru. Berpendidikan
minimal SPG / PGA mereka bekerja sebagai guru bahkan diantaranya memiliki
yayasan pendiikan, sehingga di hari pensiun pun tetap mengajar. Rata-rata pula
anak perempuannya bekerja, beberapa menjadi guru ada pula yang menjadi dosen
ataupun pegawai negeri. Berbeda dengan keluarga ayahku yang anak-anak
perempuannya rata-rata adalah ibu rumah tangga penuh (full time mother),
namun secara implisit ayahku selalu menekankan agar anak-anak perempuannya (aku
dan kakak sulung ku) untuk mandiri (baca:bekerja). Boleh jadi pengalaman tidak
menyenangkan yang dialami adik perempuannya menjadi cambuk ayah agar perempuan
mandiri dan tidak tergantung pada suami. Perempuan harus memiliki harga diri di
hadapan suami, begiru kira-kira pesannya di suatu kesempatan. Beliau almarhum
sebelum melihat aku menjadi seorang pegawai seperti harapan nya.
Namun, terkadang jika melihat kenyataan sekarang
dengan anak yang masih berusia balita. Dengan kebutuhan khusus sehingga
memerlukan perhatian khusus pula. Kadang disitu saya merasa sedih, jadi inget
meme nya ibu polwan. Karena diapun menyampaikan dalam konteks yang sama yaitu
ketika bekerja dan meninggalkan anak-anaknya dalam pengasuhan orang lain. Sedih
sih iya, apalagi ketika rekanku baik di dunia maya maupun didunia nyata
sering mengutipkan pendapat ulama tentang larangan wanita bekerja dan keluar
rumah, ikhtilat (bercampur baur) dengan lawan jenis bahkan katanya
menimbulkan banyak perselingkuhan dan pembangkangan terhadap suami. Wallahua’lam.
Walaupun memang bukan berita bohong ketika kisah-kisah tentang keburukan wanita
bekerja itu diangkat. Orang tua suami, terutama ibu mertuaku juga sebetulnya
lebih merekomendasikan ibu rumah tangga untuk menjadi menantunya. Namun
kebetulan kedua anaknya, suamiku dan kakak iparku memilih isteri yang sama-sama
bekerja. Alasan mereka ya, bukan di materi justru. Tapi lebih kepada ingin
menghargai dan melejitkan potensi isteri-isteri nya. Selama kami masih dapat
membegi waktu dan fikiran untuk urusan rumah tangga. Dan sejauh ini kami
sepertinya masih berada dalam track yang seharusnya. Dear, tegur
kami jika salah yah, jangan menunggu kami keluar dari rel yang seharusnya.
Bagi kami pun , bekerja bukan soal materi Ansich,
bukan juga masalah emansipasi, kesetaraan jender atau apapun. Tapi kami ingin
bersama-sama menjalankan roda keluarga dan meringankan beban mereka. Agar
anak-anak kami kelak dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik plus perhatian
yang lebih baik dari ayah mereka. Ya semata-mata karena rasa cinta pada
generasi kami ke depan. Dan mempersiapkan generasi yang lebih baik juga adalah
ibadah, karena agamapun memerintahkan kita untuk mempersiapkan generasi yang
lebih baik. Begitu juga agar terciptanya
Sakinah dalam keluarga. kami tidak saling menuntut, suami menuntut isterinya
mengurus kebutuhan rumah tangga dengan optimal. Isteri menuntut suaminya bekerja
dan menghasilkan uang lebih banyak lagi. Kamipun tidak saling curiga, suami
mencurigai isterinya boros berbelanja, isteri mencurigai suaminya tidak
memberikan seluruh hasil kerjanya dan sebagainya. Yah karen akami saling
membantu dan bekerja sama dalam setiap hal. Yah, boleh lah ada
yang tidak setuju dengan pendapat kami. tapi itu adalah pilihan kami dengan
pola rumah tangga kami.
Suamiku pun yakin, ketika dia memilihku sebagai
isterinya. Bahwa wanita bekerja tidak selalu buruk tabiatnya pada suami, sok
kuasa atau bahkan selingkuh dengan teman kerja. Karena bagi suami memilih teman
hidup itu bukan hanya dari apa yang tampak dari mata zahir saja tapi juga yang
lebih penting adalah dari dalam, dari hati. Hati-hati yang disentuh oleh agama
pasti akan memiliki kendali dari ajaran agama. Karena agama memberikan batasan
apa yang boleh dan tidak boleh. Apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, dan
yang ditakuti oleh orang yang beragama adalah Tuhan. Jadi meskipun suaminya
tidak 24 jam bersamanya, meskipun dia pergi kemanapun tanpa pengawasan namun
tetap dalam wilayah aman, dia tak akan berkhianat dan tak akan menelikung suami
dari belakang. Dia akan tetap menjaga harta suaminya dengan aman, menjaga
kehormatan suaminya dengan sepenuh penjagaan. Karena yang dia takutkan adalah
Tuhan, ya hanya Allah saja. Dan pengawasan
Allah tidak terbatas ruang dan waktu, tak ada semut kecil yang hitam
berada di batu hitam di tengah malam yang gelap gulita kecuali ia dalam
pengawasan dan penjagaan Allah SWT. Begitulah kira-kira perumpamaan pengawasan
Allah terhadap hamba Nya. Karenanya seorang suami kan tenang walaupun isterinya
pergi keluar untuk sama-sama mencari nafkah.
Keyakinan kami pun sama, pada buah hati kami semata
wayang. Kami yakin akan penjagaan Allah terhadapnya. Setiap hari saya
mempersiapkan yang terbaik untuknya. Sebisa mungkin memberikan yang alami,
hasil karya dari kedua tangan ini. Kami berusaha memberikan kualitas terbaik
bagi kebersamaan kami yang minim. Sedih, mungkin sering kami rasakan, hanya
yakin saja bisa melewati semuanya. Pengalamanku dan kelima kakakku, dengan ibu
yang sibuk bekerja enam hari dalam sepekan. Kami tetap merasakan damai di hati,
karena di sela-sela kebersamaan kami ibu tetap ‘ada’ ayahpun tetap ‘ada’ untuk
kami. bukan hanya fisiknya tapi juga hatinya. Apabila kami berkumpul tak
henti-hentinya kami akan menceritakan keseharian kami dengan canda-tawa, dengan
ibrah / pesan yang selalu orangtua kami selipkan di dalamnya. Mungkin itulah
gaya kami yang akan kami tularkan pada generasi kami ke depan. Inginnya kami
selalu bersama mendekap mereka hangat, namun terkadang waktu yang terbataspun
tak selalu buruk hasilnya.
Aku berharap
bukan mudaharat / keburukan yang akan kami petik kelak. Karena memutuskan untuk
berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya juga bukan perkara yang
mudah, setidaknya aku tak seberani itu. Banyak hal di depan yang masih harus
kami hadapi, bersabar dan sedikit menutup telinga dengan omongan orang mungkin
solusi terbaik sementara ini. Ibuku pun
bisa menjadi the real mother meskipun dia bekerja, mencetak kami ber
enam dengan tangan dinginnya ( eeaaa ^_^ ) adalah sebuah masterpiece
yang luar biasa. Yah orang tua memang tidak mencetak secara utuh, tetap saja
tangan-tangan Tuhan yang lebih mendominasi. Ayah dan Ibu hanya menjalankan
sunnatullah Nya di bumi. Tapi do’a-do’a mereka yang mengalun menembus sepertiga
malam adalah ruh yang menguatkan raga ini. Ya Rabbi, Tuhan kami semoga Engkau
meridloi jalan kami ini, memilih menjadi ibu bekerja bukan dosa bukan? dosa
jika kami menelantarkan anak-anak kami dan suami kami. Suamiku, Anakku tercinta
kalian ridho bukan jika isterimu ini, ibumu ini membawa separuh hati kalian dan
berkelana di setiap fajar tiba dan kembali jelang mentari menundukkan diri. I
Lope yu Pull.